Tapal Batas Mimika - Deiyai: Menjaga Harmoni dengan Pendekatan Adat

Tanah milik Adat dan Pemerintah hadir sebagai saksi

y4n.site

12/1/20252 min read

Gambar: Ilustrasi Solusi

OPINI

Penulis: Yerry A. Nawipa

y4n.site - Timika- Konflik tapal batas antara Kabupaten Mimika dan Deiyai kembali menjadi sorotan. Banyak pihak menilai bahwa persoalan ini hanya bisa di selesaikan melalui jalur birokrasi pemerintahan. Namun sesungguhnya, akar dari persoalan batas wilayah telah lama di tentukan oleh tua-tua adat yang memahami sejarah, garis keturunan, dan hak ulayat masing-masing suku.

Pendekatan Akar Rumput

Batas wilayah adat bukanlah sesuatu yang baru lahir bersama pemerintah moderen. Sejak dahulu, masyarakat adat telah menetapkan dan mengetahui batas wilayah mereka. Pengetahuan ini diwariskan turun-temurun, menjadi bagian dari identitas dan harmoni sosial antar suku. Karena itu, penyelesaian konflik tapal batas tidak boleh mengabaikan suara masyarakat adat.

Harmonisasi Hubungan Adat

Lebih dari sekedar batas wilayah, hubungan masyarakat Mimika dan Deiyai telah lama terjalin melalui interaksi ekonomi tradisional berbasis barter. Mereka saling bertukar hasil bumi dari daerah masing-masing:

  • Ikan dari sungai dan danau,

  • Daging babi dari peternakan lokal,

  • Sayur-mayur dan umbi-umbian dari kebun

  • Sagu sebagai pangan pokok

  • serta berbagai hasil bumi lainnya.

Tradisi barter ini bukan hanya bentuk perdagangan, tetapi juga simbol harmoni, saling ketergantungan, dan kepercayaan yang telah mengikat kedua komunitas sejak lama.

Tragedi Kematian Pendeta

Terjadinya kematian seorang Pendeta dalam konflik ini adalah hal yang sangat tidak etis dan menjadi peringatan keras bahwa situasi sudah melampaui batas toleransi. Kehilangan tokoh rohani berarti hilangnya figur moral yang selama ini menjadi penopang harmoni sosial.

Karena itu, Pemerintah bersama aparat keamanan harus segera bertindak tegas:

  • Mencabut izin perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah konflik.

  • Mengeluarkan seluruh alat operasional dari lokasi pertambangan demi mencegah eskalasi lebih lanjut.

Solusi Berbasis Gereja dan atau Koperasi

Sebagai langkah konstruktif, segera di bentuk Koperasi atau Badan Hukum Gereja setempat untuk mengelola pertambangan sesuai area yang ditetapkan oleh masyarakat adat setempat.

  • Hal ini sejalan dengan UU Pertambangan Rakyat yang baru di sahkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

  • Dengan mekanisme ini, pengelolaan tambang tidak lagi dikuasai pihak luar, melainkan dikembalikan kepada komunitas lokal dan lembaga rohani yang dipercaya masyarakat.

Ladasan Hukum

Pendekatan ini tetap perpegang pada UU No. 45 Tahun 1999 yang menetapkan batas administratif Kabupaten Mimika serta memperkuat amanat Otonomi Khusus Papua yang menempatkan hak masyarakat adat sebagai prioritas, namun juga pemerintah pusat juga wajib mengesahkan UU Masyarakat Hukum adat yang di perjuangkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang sudah di ruang Prolegnas. Landasan hukum Pertambangan Rakyat pada UU No. 2 Tahun 2025 juga menjadi dasar hukum untuk pendirian komunitas koperasi ataupun Badan Hukum Gereja. UU ini juga sebagai dasar hukum agar Pemerintah Kabupaten Mimika dan Deiyai dapat mencabut izin pertambangan ilegal di wilayah konflik.

Kesimpulan

Tua-tua adat telah lebih dahulu menetapkan dan mengetahui batas wilayah mereka masing-masing. Hubungan harmonis yang sudah lama terjalin melalui barter hasil bumi menjadi bukti nyata bahwa masyarakat adat mampu menjaga keseimbangan sosial dan ekonomi. Tragedi kematian seorang Pendeta menunjukan bahwa konflik ini tidak boleh di biarkan berlarut. UU No. 2 Tahun 2025 merupakan perubahan atas UU Minerba, disahkan oleh Presiden Prabowo Subianto dan memberikan prioritas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada Koperasi, UMKM, Organisasi keagamaan dan Badan usaha lokal, serta UU ini menegaskan bahwa kekayaan alam harus dikelola untuk kemakmuran rakyat secara berkeadilan, sejalan dengan pasal 33 UUD 1945 dan semangat Otonomi Khusus Papua.

Penutup

Penyelesaian konflik Mimika-Deiyai harus dari pengakuan terhadap kearifan lokal dan hak ulayat, bukan dominasi kekuasaan. Pemerintah hadir sebagai fasilitator netral, bukan pengambil keputusan sepihak. Dengan pendekatan adat, pengelolaan tambang berbasis komunitas, dan dukungan hukum yang sah, Papua bisa membangun masa depan yang damai, adil, berdaulat tanpa diprovokasi pihak luar dari masyarakat adat setempat.

Salam Eme Neme Yauware  -- y4n.site --