Negara menguasai, Rakyat Memiliki: Meluruskan Miskonsepsi Agraria
Opini kritis terhadap pernyataan Menteri ATR/BPN soal kepemilikan tanah, menegaskan bahwa negara hanya menguasai, bukan memiliki. Fokus pada keadilan agraria dan hak rakyat.


Oleh Yerry A. Nawipa - Ketua Analisis Papua Strategis (APS) Mimika, Founder GOOLDZ & Penggerak Reformasi Digital Komunal
Timika____ Dilansir dari https://www.kompas.id/artikel/negara-bukan-pemilik-tanah, Pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid bahwa “yang memiliki tanah itu adalah negara dan bahwa orang itu hanya menguasai” bukan sekadar keliru secara hukum, tetapi juga berpotensi mengaburkan hak-hak rakyat atas tanah yang dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Negara Bukan Pemilik, Melainkan Penguasa
Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kata “dikuasai” di sini bukan berarti “dimiliki” secara absolut. Negara bertindak sebagai pengelola, pengatur, dan pelindung hak-hak rakyat atas tanah.
UUPA No. 5 Tahun 1960 memperjelas bahwa negara memiliki hak menguasai, bukan hak milik. Justru rakyatlah yang dapat memiliki tanah melalui berbagai bentuk hak:
- Hak Milik: hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh.
- Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB): hak atas tanah negara untuk usaha dan pembangunan.
- Hak Pakai: hak untuk menggunakan tanah dengan izin.
Bahaya Miskonsepsi
Mengatakan bahwa negara adalah pemilik tanah bisa menimbulkan:
- Ketidakpastian hukum bagi pemilik tanah sah.
- Sentralisasi kekuasaan yang bertentangan dengan semangat reforma agraria.
- Konflik agraria yang semakin kompleks, terutama di wilayah adat dan komunitas lokal.
Di Tanah Papua, di mana tanah bukan sekadar aset tetapi warisan leluhur dan identitas budaya, pernyataan seperti ini bisa merusak kepercayaan publik dan memperlemah posisi masyarakat adat dalam memperjuangkan haknya di Tanah Papua
Tanah Adalah Kehidupan, Bukan Sekadar Objek
Sebagai Ketua APS Mimika dan penggerak transformasi komunal di Papua, saya percaya bahwa tanah harus dikelola secara adil, transparan, dan partisipatif. Negara harus hadir sebagai fasilitator, bukan pemilik. Reforma agraria sejati adalah ketika rakyat memiliki, mengelola, dan menjaga tanahnya dengan dukungan negara—bukan di bawah bayang-bayang kontrol sepihak.
Saatnya Meluruskan Narasi
Kita perlu melawan miskonsepsi ini dengan edukasi publik, advokasi hukum, dan narasi yang berpihak pada keadilan. Tanah bukan milik negara. Tanah adalah milik rakyat, dikuasai oleh negara untuk menjamin kemakmuran bersama. (y4n.site)